4 Maret 2024 9:44 am

Fondasi Menggapai Bahagia yang Qur'ani

Fondasi Menggapai Bahagia yang Qur'ani
Oleh: Lifa Ainur R

Konsensus ulama sepakat, bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci yang tidak melulu bicara persoalan hukum, atau sebatas relasi antara Tuhan dan hamba, pada beberapa titik Al-Qur’an juga mengurai beberapa fenomena yang terjadi di masa lalu. Kisah-kisah yang juga bisa dijadikan ibrah. Qashash Al-Qur’an merupakan aspek penting dalam Al-Qur’an agar umat di masa mendatang dapat mengambil ibrah dan pelajaran, bisa berkaca pada umat masa lalu, agar tidak mengulang kesalahan yang sama, dan memodifikasi model kebaikan yang ada.

Kisah-kisah tersebut umumnya berbentuk sebuah dilema antar umat manusia, sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Zukhruf: 31-32 berikut,
وَقَالُوْا لَوْلَا نُزِّلَ هٰذَا الْقُرْاٰنُ عَلٰى رَجُلٍ مِّنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيْمٍ اَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَۗ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۙ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗوَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Mereka (juga) berkata, “Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada (salah satu) pembesar dari dua negeri ini? “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Al-Zukhruf [43]:32)

Jika kita perhatikan dengan seksama, dua ayat tersebut setidaknya memiliki beberapa pokok ajaran yang ditekankan. Antara lain, Allah menolak atau mengkritik logika kenabian yang dibangun dan dipahami orang Kafir Jahiliyah. Logika kenabian dalam pandangan orang-orang jahiliah adalah meniscayakan kedudukan dan kemuliaan diberikan dan dimiliki seorang pemimpin kaum. Karenanya tidak terlalu mengherankan jika fakta sejarah memaparkan kerasnya penolakan orang kafir Jahiliyah terhadap risalah Nabi Muhammad Saw, khususnya ketika Nabi Saw masih berada di Makkah. Di era itu, kendatipun Allah menetapkan Nabi Saw sebagai makhluk paling mulia sebagaimana sampai hari ini kita yakini dan imani, di mata orang kafir jahiliyah, sosok yang menjadi alasan Tuhan menciptakan semesta raya tetaplah seorang manusia biasa, yang bukan apa-apa. Penolakan terhadap risalah tersebut makin lantang digemakan, mengingat pada saat itu usia Nabi Muhammad Saw masih sangat muda. Tegas mereka menyatakan, “Jika pun Tuhan akan mengutus seorang Nabi, tentu bukan Muhammad orangnya. Jika pun Tuhan akan mengirimkan pesan suci, bukan pada Muhammad pesan suci itu ditransmisikan, melainkan pada pemimpin kaum dari dua wilayah” Menurut Imam al-Mahalli dalam karyanya yang cukup fenomenal, Tafsir Jalalain, dua wilayah (القريتين) yang dimaksud ayat di atas adalah kota Makkah dan kota Thaif. Walid al-Mughirah adalah pemimpin dari Makkah, sedangkan Thaif dipimpin oleh Urwah ibn Mas’ud al-Tsaqafi. Dua tokoh ini merupakan orang kafir Jahiliyah yang posisinya sama-sama diperhitungkan kala itu. Maka mudah saja menyimpulkan mengapa risalah yang ditawarkan Nabi Saw mendapat penolakan yang amat keras, sebab, jika memang memakai kacamata orang jahiliyah, Muhammad muda memang bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Meski memiliki istri saudagar wanita kaya raya, posisinya tetap akan disoroti sebagai pemuda yang nir-pengalaman, bukan pula pemimpin kaum yang ada di Makkah. Fenomena yang demikian dijawab dikritik oleh Allah. “Kenapa kalian berpikir seperti itu wahai, Orang Jahiliyah?”. Kenabian adalah rahmat Allah, kenabian adalah pemberian Allah, dan Allah memiliki hak dan wewenang untuk memberikan apa saja yang dikehendakinya, termasuk memberi rahmat berupa kenabian dan risalah tanpa bisa diganggu gugat oleh siapa saja. Pada kalimat berikutnya Allah mengkritik dengan sebentuk kalimat tanya. اَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَۗ Apakah kalian merasa punya wewenang untuk membagi rahmat Allah? Apakah kalian memiliki izin untuk membagi rahmat Allah?

Tidak! نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۙ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗوَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ “Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”

Bahagia ala Al-Qur’an: Hidup yang Tertata dengan Maksimal QS. Al-Zukhruf: 32 dalam pandangan seorang sufi kenamaan, Imam Hatim al-Asham merupakan ayat yang mengandung tips bahagia ala Al-Qur’an, sebagaimana dikutip al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din dan kitabnya yang lain, Ayyuha al-Walad. “Aku sering melihat manusia saling dengki, saling gunjing dan saling bermusuhan satu sama lain. Faktor penyebabnya tidak lain karena adanya sifat iri antara satu dengan yang lain. Iri atas harta, ilmu, jabatan dan lain sebagainya. “QS. Al-Zukhruf: 32 membuatku sedikit mengerti, bahwa apa yang dimiliki manusia semata karena Allah menghendaki mereka memilikinya. Karenanya aku tidak sedikitpun memiliki rasa iri, dan hal itulah yang membuat kita bisa menjalankan hidup dengan lebih bahagia”. Menurut hemat penulis, statement sederhana dari sang sufi, Hatim al-Asham tersebut merupakan rumus kehidupan. Jika kita tilik dan cerna dengan seksama, pusaran konflik yang terjadi antar umat manusia selalu dipantik oleh rasa iri, yang kemudian mengantarkan rasa dengki, lalu memicu permusuhan antar satu dengan yang lain. Rasa iri bisa dipicu oleh banyak faktor, bisa dari perbedaan kasta, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Rasa iri muncul karena sebagian besar manusia melihat mapannya finansial dan tingginya jabatan sebagai tolok ukur kesuksesan. Akan berbeda kasusnya jika indikator di atas tidak lagi menjadi indikator kesuksesan.

Sebagaimana ditegaskan dalam ayat yang lain, اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti. Tolok ukur kesuksesan duniawi tersebut tak jarang membuat manusia modern menjadi lebih ambisius. Ambisi yang seringkali menjadi pemicu stress lalu bunuh diri jika ambisi tersebut gagal dipenuhi. Tapi bukan pula dalam arti solusi yang ditawarkan Al-Qur’an untuk lebih bahagia dalam menjalani hidup adalah berpangku tangan, sebab dalam ayat yang lain Allah menitahkan agar manusia bergerak dan bekerja (QS. Al-Taubah:105) Wa ba’du, sebagaimana didawuhkan seorang ulama sufi kontemporer asal Jawa Timur, Kh. Achmad Asrori al-Ishaqi, “Orang yang bahagia adalah mereka yang berani menghadapi dinamika hidup”. Saat sehat atau sakit, saat mudah ataupun sulit. Mereka yang memiliki keyakinan penuh bahwa Allah tidak menguji seorang hamba melebihi batas kemampuannya, juga mengimani bahwa setiap kesulitan selalu disertai kemudahan, tidak akan gentar menghadapi persoalan hidup, bahkan meskipun logika atau akal yang sehat menyatakan mustahil bisa melewatinya. Ia akan tetap berdiri tegak di atas kakinya, dan yakin bahwa innallaha ma’ana.
Wallahu a’lam!
Blog Post Lainnya
Social Media
Alamat
+62 895-1794-6814
prayogorizki44@gmail.com
Alamat Yayasan : Jl. Kedondong No. 20. Perum Harapan Baru 1, Kotabaru, Bekasi Barat.
Alamat Institute: Jl. Rawa Bebek, Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur
Antassalam Institute @ 2023
-