5 Maret 2024 9:41 am

Mengenal Tafsir Quran Kariim, Tafsir Nusantara Karya Mahmud Yunus

Mengenal Tafsir Quran Kariim, Tafsir Nusantara Karya Mahmud Yunus
Oleh: Lifa Ainur R

Kajian mengenai tafsir Al-Qur’an secara ontologi memiliki dinamika tersendiri sepanjang sejarah. Alih-alih disebut sebagai karya dan produk insani yang mustahil dapat menyentuh dimensi sakralitas Al-Qur’an yang berdimensi ilahi, alih-alih juga disebut sebagai alat bantu memahami sabda dan petunjuk dari Tuhan untuk beberapa kalangan.

Memahami Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Tafsir bi al-ma’tsur ditetapkan para ulama sebagai metode yang paling aman dalam menafsirkan Al-Qur’an, konsep utama dalam metode ini adalah satu ayat adalah tafsir dari ayat yang lain, atau paling tidak merujuk pada penafsiran dari Nabi Saw, para sahabat dan tabi’in. Tiga generasi ini merupakan golongan yang dianggap paling otoritatif dalam menafsirkan kalam Tuhan. Sehingga tidak terlalu mengherankan jika Ibnu Taimiyah, seorang Alim Ulama yang eksis pada abad ke tujuh menyatakan “jika pengertian Al-Qur’an telah diterangkan oleh al-sunnah, maka tafsir dari ahli bahasa atau ahli lainnya tidak lagi dibutuhkan”.

Al-Qathan dalam karyanya menegaskan, metode ulama mutaqaddimin, (tafsir bi al-ma’tsur) merupakan metode paling aman untuk menghindari ketergelinciran, kesesatan dan kesalahan pemahaman dalam memahami kitabullah. Terlepas dari pendapat di atas, tentu saja ada pendapat yang berlawanan, dalam arti sederhana, ada pendapat yang menyatakan Al-Qur’an perlu dijelaskan dan ditafsirkan ulang, tanpa dibatasi oleh metode tertentu. Perlu dilakukan proses membaca dan pembacaan yang sesuai dengan ruang lingkup yang diperlukan. Usaha menafsirkan Al-Qur’an yang dilakukan oleh para ulama tentu saja dilakukan dengan maksud dan niat yang baik, sebagaimana apa yang ditulis Mahmud Yunus, bahwa proses membaca dan menafsirkan Al-Qur’an adalah bentuk dari aktualisasi dari apa yang tersurat dalam QS. Al-Baqarah: 2, hudan li al-muttaqin. Agar petunjuk dari Al-Qur’an bisa dipahami dengan baik oleh pembaca dengan identitas apapun, dan relevan dijadikan pedoman hidup oleh bangsa manapun.

Selayang Pandang Mahmud Yunus
Mahmud Yunus merupakan mahasiswa asal Indonesia pertama yang menempuh pendidikan di Universitas Darul Ulum ‘Ulya pada tahun 1926. Di kampus ini juga ia menerima pemahaman dari Syaikh Darul Ulum, bahwa hukum menerjemahkan dan menafsirkan Al-Qur’an adalah mubah (boleh). Bahkan dianjurkan, dihukumi fardhu kifayah untuk berdakwah dan mengajarkan Al-Qur’an pada bangsa asing. Mendapati hal tersebut, ia merasa senang, sebab rupanya semangatnya untuk menerjemahkan dan membumikan Al-Quran adalah hal yang dianjurkan.

Mahmud Yunus lulus dalam ujian akhir Darul Ulum dengan gelar diploma guru (ijazah tadris) pada 1930, kembali ke Indonesia dan memulai pengabdiannya dengan membuka dan menjadi guru di dua Madrasah, yakni Kulliyat al-Mu'allimin Islamiah dan Al-Jami'ah al-Islamiyah pada tahun 1931. Mahmud Yunus memulai ulang usahanya menerjemahkan Al-Qur’an di bulan ramadhan tanun 1935. Proses penerjemahan ini sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 1922 dengan huruf Arab-Melayu, sebelum ia menempuh karir akademiknya di al-Azhar, Mesir.

Meski pada era itu ramai fatwa yang menyatakan bahwa menerjemahkan dan menafsirkan Al-Qur’an dihukumi haram, Mahmud Yunus memilih tidak bersepakat dengan fatwa tersebut. Secara konsisten, Mahmud Yunus berhasil menggarap beberapa juz dalam tempo satu bulan, berisi terjemah dan beberapa catatan tafsir yang dianggap penting. Karyanya akhirnya rampung secara utuh pada tahun 1938, dengan judul besar Tafsir Qur’an Karim, dan mulai terbit pada awal 1960-an.

Keinganan Mahmud Yunus dalam Menuliskan Tafsir Quran Karim
Sebagaimana disebutkan di atas, upaya penerjemahan Al-Qur’an selalu diiringi dengan niat dan maksud yang baik. Demikian Mahmud Yunus, ia ingin menyuguhkan tafsir atas Al-Qur’an yang praktis dan bersahaja, dapat dibaca dan dipelajari semua orang, khususnya untuk masyarakat Indonesia umumnya.

Tujuan Mahmud Yunus menulis tafsir Al-Qur’an adalah agar Al-Qur’an bisa menjadi kitab petunjuk yang bersifat universal. Lebih jauh dari itu Ia juga menegaskan, yang paling penting dari karyanya adalah menjelaskan dan menerangkan petunjuk-petunjuk yang ada dalam Al-Qur’an, sebab petunjuk yang termaktub di dalam Al-Qur’an tidak akan tersampaikan tanpa proses membaca dan pembacaan yang dapat dipahami oleh pembacanya.

Tafsir yang disusunnya antara lain berisi penegasan-penegasan penting tentang sejarah kemanusiaan, maju dan mundurnya suatu bangsa, kebangkitan dan kejayaannya, sampai pada kelemahan dan kehancurannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar pembaca dapat mengambil ibrah, hikmah dan pelajaran berharga dalam menata kehidupan, dituntun dan dipedomani oleh Al-Qur’an.

Tafsir Quran Karim: Kandungan dan Karakteristiknya
Tafsir Quran Kariim karya Mahmud Yunus memiliki komposisi yang sederhana. Dibuka dengan pendahuluan yang berisi latar belakang dan beberapa catatan revisi di beberapa tempat. Format penafsirannya mirip dengan beberapa tafsir lokal lain, misalnya Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, yakni teks Al-Qur’an di sebelah kanan dan terjemah di sebelah kiri. Bersamaan dengan itu, ia juga menguraikan makna mufradat atau kosa kata yang dianggap sulit dan memerlukan penjelasan lebih rinci dalam bentuk catatan kaki.

Menurut Yunus, format yang seperti ini lebih memungkinkan bagi setiap pembaca mengetahui arti kata dari masing-masing ayat. Selain itu, Yunus juga menguraikan objek tertentu sesuai tema ayat yang diterjemahkan. Dalam tafsir karya Mahmud Yunus, pembaca akan menemukan dua jenis terjemahan. Terjemah secara literal dan terjemah secara maknawiyah. Terjemah maknawi diletakkan Yunus di antara dua kurung, dan terus ke catatan kaki. Terjemahan jenis ini umumnya akan ditemukan pada teks Al-Qur’an yang bersifat konotatif dan bernuansa eupemistis.

Menurut hemat penulis, terjemah maknawi penting sekali untuk dibubuhkan, sebab terjemah literal sangat tidak memadai untuk memahami sebuah ayat, apalagi jika topiknya berkaitan dengan konsep ketuhanan yang antropomorfis. Karenanya, terjemah literal yang disertai terjemah maknawi dan keterangan lain dengan bentuk catatan kaki adalah pilihan yang tepat, untuk menghindari pengertian dan pemahaman yang salah.

Sistematika penafsiran yang dibentuk Yunus sebagaimana tersebut menunjukkan betapa serius dan konsistennya Mahmud Yunus untuk menyuguhkan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an yang mudah untuk dipahami oleh semua kalangan. Khususnya untuk mereka yang tidak pandai dan mengerti bahasa Arab. Karakteristik lain dari Tafsir Quran Kariim adalah satu sub bab dengan judul agak nyentrik, “kesimpulan isi Al-Qur’an” yang terdiri dari kurang lebih 32 halaman. Bagian ini dimuati persoalan umum yang meliputi persoalan hukum, etika, ilmu pengetahuan, ekonomi, sejarah dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan untuk membantu pembaca yang ingin menggali hukum-hukum dan pesan-pesan penting dari Al-Qur’an lebih jauh lagi. Menurut Yunus, membaca bagian tersebut kurang lebih sama dengan membaca kitab suci secara umum. Wallahu a’lam!

Penyunting : Diki Ramadhan
Referensi: Fakhruddin Faiz. 2003. Hermeneutika Qur’ani: Antra Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Iskandar. Tafsir Quran Kariim Karya Mahmud Yunus: Kajian atas Karya Tafsir Nusantara. Jurnal Suhuf, Vol 3, No. 1, 2010. Mahmud Yunus. 2004. Tafsir Quran Kariim. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. Manna’ al-Qaththan. 1973. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an. Riyadh: Mansyurath al-Ashr al-Hadits.
Blog Post Lainnya
Social Media
Alamat
+62 895-1794-6814
prayogorizki44@gmail.com
Alamat Yayasan : Jl. Kedondong No. 20. Perum Harapan Baru 1, Kotabaru, Bekasi Barat.
Alamat Institute: Jl. Rawa Bebek, Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur
Antassalam Institute @ 2023
-